negarawan
Masalah besar yang cukup pelik dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah krisis negarawan. Krisis negarawan tidak kalah penting dibandingan dengan persoalan lainnya. Bisa jadi persoalan lain yang mendera bangsa ini akibat dari krisis negarawan yakni sosok yang mampu menjadi pemersatu, penyejuk, menjadi perekat satu sama lain bahkan menjadi inspirator bagi generasi muda bangsa.
Sosok negarawan yang bisa menjadi sandaran masyarakat dan pemimpin bangsa, manakala situasi bangsa mengalami kegoncangan, semakin sulit ditemukan di negeri ini. Tokoh-tokoh nasional yang dipandang bisa diandalkan menjadi negarawan justeru menjadi bagian dalam lilitan tali politik kepentingan.
Retakan-retakan kecil yang lama kelamaan menjadi retakan besar di bangsa ini, sungguh membutuhkan hadirnya sosok negarawan yang mengedepankan sikap kebijaksanaan, berpikir luas, dan berpikir untuk kemajuan bangsa dan negara. Sosok negarawan tentu mengedepankan dan mengutamakan kepentingan bangsa, nasib bangsa sebagai satu kesatuan yang utuh.
Krisis tokoh negarawan sebanarnya sudah berlangsung lama. Tokoh besar Ahmad Syafii Maarif tahun 2009 pernah menulis artikel di sebuah majalah berjudul Indonesia Memerlukan Negarawan. Syafii Maarif atau Buya menguraikan sosok negarawan yang dimaksud adalah sosok yang bersedia larut untuk membela kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan.
Semakin langkanya sosok negarawan di negeri ini memunculkan anekamacam gesekan di tengah masyarakat yang menggerus nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Negarawan yang dibutuhkan bangsa ini adalah sosok yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Sosok yang bersedia menjadi garda terdepan memikirkan dan membela kepentingan bangsa daripada berkutat dengan kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok. Ia berpikir melampaui apa yang tidak dipikirkan masyarakat umumnya dan jauh dari transaksi pragmatis.
Kita tentu tidak bisa menghidupkan kembali Soekarno, Bung Tomo, Mohammad Hatta, Jenderal Soedirman, dan sosok negarawan lainnya yang telah kembali ke alam baka. Namun, sikap kenegarawanan yang mereka telah letakkan dasarnya di negeri ini menjadi bagian penting yang semestinya dijalarkan tokoh nasional yang masih hidup. Sikap dan perilaku kenegarawanan mereka telah mengantar bangsa ini merdeka dari penjajahan. Menjadi ironis jika sikap kenegarawanan yang pernah mereka tanamkan tidak menjalalar dalam diri tokoh-tokoh nasional bangsa saat ini.
Melepaskan Kepentingan Politik
Jumlah politisi di negeri ini tidak terhitung, baik di tingkat lokal maupun level nasional. Boleh dikatakan bangsa Indonesia mengalami surplus politisi. Salah satu faktor penyebab terjadinya krisis negarawan akibat kepentingan politik. Kepentingan politik jauh lebih diutamakan ketimbang kepentingan bangsa dan negara. Seorang politisi memang belum tentu mampu berperilaku sebagai negarawan. Sedangkan seorang negarawan bisa miliki kapasitas sebagai seorang politisi, bahkan memiliki nilai lebih dari sekedar politisi yang melekat dalam dirinya, (M.Solly Lubis: 1996).
Politik telah memporandakan sikap tokoh-tokoh nasional. Mereka cenderung sensitif bahkan reaktif bila gosip-gosip politik dan informasi-informasi hoax menghampiri. Politik juga telah mendangkalkan nilai tertinggi dalam diri tokoh-tokoh nasional ini. Dengan kata lain sikap dan perilaku mereka tidak menggambarkan identitas dirinya sendiri. Mereka cukup responsif dan reaktif terhadap urusan gosip politik dan acapkali tidak mempedulikan persoalan-persoalan bangsa yang sangat membutuhkan solusi.
Kita ketahui bersama belakangan ini bangsa Indonesia tengah diperhadapkan dengan persoalan intoleran. Masalah intoleran ini mendorong pemerintah merencanakan membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Pertanyaannya apakah dengan dibentuknya DKN masalah intoleran di Indonesia akan selesai? Terjadinya intoleran tidak semata-mata karena terbatasnya cara pandang masyarakat tentang pentingnya toleransi antarumat beragama. Situasi ini juga terjadi akibat hilangnya kesadaran bersama tokoh-tokoh nasional untuk berpikir negarawan, berpikir masa depan bangsa.
Rasanya memang sulit bagai menegakkan benang basah, karena sejarah politik kita menerapkan gaya politik aliran, seperti yang pernah dikemukakan sosiolog berkembangsaan Amerika, Clifford Geertz. Seseorang, kelompok, atau organisasi tertentu dikelilingi organisasi massa dengan idiologi atau aliran/sekte. Namun sebagai tokoh nasional harus berani duduk bersama, berani menanggalkan segala kepentingan politik aliran masing-masing demi generasi dan kemajuan bangsa.
Mewartakan semangat optimisme membangun bangsa adalah salah satu cara menguatkan semangat kebersamaan masyarakat bangsa. Masyarakat membutuhkan pesan-pesan konsktruktif, optimis yang bisa dijadikan pegangan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernega. Pesan optimisme tokoh-tokoh nasional menjadi kekuatan tersendiri bagi masyarakat.
Bangsa ini akan semakin maju dan kehidupan sosial kemasyarakatan semakin baik, manakala tokoh-tokoh nasional ini bersatu dalam satu aliran pikiran kebangsaan dan kenegarawanan. Menggelorakan pesan-pesan optimisme kepada masyarakat luas merupakan jalan terbaik, sebagai salah satu cara membendung kegaduhan di tengah masyarakat.
Tokoh-tokoh nasional harus mampu mewariskan nilai-nilai luhur negarawan pendahulu. Semakin banyak mewartakan psimistis justru tidak secara langsung menyuramkan pelita di tengah masyarakat. Tokoh-tokoh nasional harus menyadari sepenuh hati krisis negarawan yang dihadapi bangsa ini, maka perbedaan-perbedaan yang selama ini manjadi faktor penyumbang terjadinya kerenggangan perlu diakhiri demi keutuhan bangsa.
Oleh: Maksimus Ramses Lalongkoe
Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia & Dosen Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta
Direktur Eksekutif Lembaga Analisis Politik Indonesia & Dosen Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta
COMMENTS