Dalam pasal 8 UU No. 6/2014 disebutkan tentang syarat-syarat pembentukan desa . Makna syarat jumlah penduduk itu Desa-desa s...
Dalam pasal 8 UU No. 6/2014
disebutkan tentang syarat-syarat pembentukan desa.
Makna syarat jumlah penduduk itu
Desa-desa
sekarang berapapun jumlah penduduknya ditetapkan kembali dengan Peraturan
Daerah. Klasifikasi jumlah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 UU No.
6/2014 yaitu syarat jumlah penduduk, ditentukan wilayah Jawa paling sedikit
6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga; hingga
wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100
(seratus) kepala keluarga.
Pada
dasarnya syarat tersebut merupakan syarat pembentukan desa kedepan. Pembentukan
yang dimaksud adalah pemekaran atau pembentukan desa baru hasil pemekaran dari
desa yang sudah ada. Hal ini harus mengikuti syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8.
Sebagai
contoh, sebuah kampung/desa di Papua yang hanya memiliki penduduk 900 jiwa,
maka ia tidak bisa dimekarkan menjadi dua desa, karena salah satu desa pasti
tidak memenuhi syarat sebagai desa.
Penghapusan Desa
Penghapusan
desa bukanlah tindakan sosiologis dan politik, yang menyingkirkan masyarakat
dan menghapus kesatuan masyarakat hukum. Sebaliknya penghapusan desa merupakan
tindakan administratif, yakni penghapusan nama desa dan nomor kode desa.
Penghapusan desa itu terjadi karena beberapa hal.
Pertama, penggabungan
beberapa desa menjadi satu desa yang besar. Desa baru hasil penggabungan
beberapa desa itu dapat menghadirkan nama baru, sementara nama-nama lama masih
tetap ada, namun status desa dan nomor kode desa dihilangkan. Nama-nama lama
bisa dijadikan sebagai nama dusun atau kampung.
Sebagai
contoh adalah hadirnya Desa Caturtunggal
di Sleman, sebagai hasil penggabungan dari Karangwuni, Mrican, Demangan,
Ambarukmo, dan Kledokan berdasarkan Maklumat Gubernur DIY No. 5/1948. Di
Jembrana Bali juga ada Desa Ekasari sebagai hasil penggabungan dari Desa
Palasari (komunitas Katholik), Desa Palalingga (Komunitas Hindu) dan Desa
Palareja (komunitas Islam). Nama Palasari, Palalingga dan Palareja sampai
sekarang masih ada, tetapi status mereka sebagai desa sudah dihapuskan.
Kedua, penghapusan
desa karena terjadi bencana atau karena program strategis nasional. Dalam kasus
ini, penghapusan desa terjadi sebagai tindak lanjut dari kekosongan warga
penghuni desa atau relokasi warga masyarakat karena terkena bencana atau lokasi
tempat tinggal mereka dijadikan sebagai lokasi proyek nasional. Dengan kalimat
lain, relokasi warga masyarakat tersebut bukan menjadi bagian dari kegiatan
penghapusan desa.
Sebagai
ilustrasi, jika wilayah sebuah desa terkenabencana tsunami, yang sebagian besar
warga menjadi korban dan hanya tersisa sejumlah kecil keluarga, maka desa itu
bisa digabungkan ke dalam desa tetangga, dan status desa tersebut dihapus
secara administratif. Demikian juga dengan wilayah desa yang habis terkena
lahar gunung berapi atau lumpur gas, yang kemudian diikuti dengan pengungsian
atau relokasi total (bedhol desa) warga masyarakat dari pemukiman desa
tersebut ke tempat lain. Status administratif desa yang luluh lantak dan
ditinggal pergi warganya itu bisa dihapuskan.
Sedangkan
program strategis nasional yang berdampak pada penghapusan desa antara lain
adalah proyek pembuatan waduk. Sebagai contoh adalah Waduk Gajahmungkur
(Wonogiri), Waduk Jatigede (Sumedang), maupun Citandui (Cilacap dan Ciamis).
Sebelum wilayah desa dan pemukiman warga digenangi air, tentu diawali dengan
relokasi warga masyarakat. Sekali lagi, relokasi warga ini bukanlah kegiatan
penghapusan. Setelah wilayah desa-desa itu digenagni air dan menjadi waduk,
maka nama dan status desa-desa tersebut dihapuskan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, dan penghapusan nomor kode di Kementerian Dalam Negeri.
COMMENTS