Cakupan atau Ruang Lingkup Kewenangan lokal skala desa dan Kriteria menetapkan kewenangan lokal berskala desa. Kewenangan lokal sk...
Cakupan atau Ruang Lingkup
Kewenangan lokal skala desa dan Kriteria menetapkan kewenangan lokal berskala
desa.
Kewenangan
lokal skala desa berlandasakan pada asas subsidiaritas. Dalam penjelasan UU No.
6/2014, subsidiaritas mengandung makna penetapan kewenangan lokal berskala desa
menjadi kewenangan desa. Penetapan itu berbeda dengan penyerahan, pelimpahan
atau pembagian yang lazim dikenal dalam asas desentralisasi maupun
dekonsentrasi. Sepadan dengan asas rekognisi yang menghormati dan mengakui
kewenangan asal-usul desa, penetapan ala subsidiaritas berarti UU secara
langsung menetapkan sekaligus memberi batas-batas yang jelas tentang kewenangan
desa tanpa melalui mekanisme penyerahan dari kabupaten/kota.
Namun
penetapan kewenangan lokal desa tidak bersifat absolut. Penjelasan UU No.
6/2014 menegaskan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh
Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena
perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa, antara lain tambatan
perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi
lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan
Desa, embung Desa, dan jalan Desa. Berbagai jenis kewenangan lokal ini
merupakan contoh konkret. Namun kewenangan lokal tidak terbatas pada contoh itu,
melainkan sangat terbuka dan bisa berkembang lebih banyak sesuai dengan konteks
lokal dan prakarsa masyarakat.
Ada sejumlah
prinsip dasar dalam mengatur dan mengurus kewenangan lokal. Pertama,
mengeluarkan dan menjalankan aturan main (peraturan), tentang apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Misalnya desa menetapkan besaran jasa pelayanan air minum yang
dikelola BUMDes Air Bersih; atau desa menetapkan larangan truck besar masuk ke
jalan kampung.
Kedua,
desa bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan menjalankan kegiatan
pembangunan atau pelayanan, serta menyelesaikan masalah yang muncul. Sebagai
contoh, karena Posyandu merupakan kewenangan lokal, maka desa bertanggungjawab
melembagakan Posyandu ke dalam perencanaan desa, sekaligus menganggarkan untuk
kebutuhan Posyandu, termasuk menyelesaikan masalah yang muncul.
Ketiga,
memutuskan dan menjalankan alokasi sumber daya (baik dana, peralatan maupun
personil) dalam kegiatan pembangunan atau pelayanan, termasuk membagi
sumberdaya kepada penerima manfaat. Sebagai contoh, desa memutuskan alokasi
dana sekian rupiah dan menetapkan personil pengelola Posyandu.
Contoh lain:
desa memberikan beasiswa sekolah bagi anak-anak desa yang pintar (berprestasi)
tetapi tidak mampu (miskin).
Keempat,
kewenangan desa lebih banyak berorientasi pada pelayanan dan pemberdayaan
daripada kontrol, penguasaan dan izin.
Kelima,
cakupan pengaturan bersifat lokal di lingkup desa dan hanya untuk masyarakat
setempat. Desa tidak berwenang mengeluarkan izin untuk warga maupun kepada
pihak investor. Kewenangan mengeluarkan izin berada pada pemerintah supradesa.
Keenam,
desa tidak berwenang melakukan pungutan terhadap obyek yang telah dipungut atau
obyek yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Desa berwenang melakukan pungutan
atas obyek-obyek kewenangan desa seperti retribusi pasar desa, restribusi
tambatan perahu, retribusi karamba ikan, retribusi pemandian umum, retribusi
pelayanan air bersih, retribusi obyek wisata desa, dan lain-lain.
Posyandu dan PAUD menjadi
kewenangan lokal berskala desa
Baik
Posyandu dan PAUD dapat dikategorikan sebagai kewenangan lokal skala desa
karena skalanya yang lokal serta lebih efektif dan efisien jika diatur dan
diurus oleh desa. Desa merencanakan, membiayai, menjalankan, dan membina
Posyandu dan PAUD. Tentu desa mempunyai keterbatasan di bidang teknis kesehatan
dalam Posyandu dan teknis pendidikan dalam PAUD. Jika desa mempunyai kewenangan
mengatur dan mengurus Posyandu dan PAUD, maka Dinas Kesehatan berwenang dan
berkewajiban melakukan pembinaan teknis dibidang kesehatan terhadap Posyandu,
termasuk membinabidan desa. Sedangkan Dinas Pendidikan melakukan pembinaan teknis
di bidang pendidikan terhadap PAUD.
Pertanyaan
:
Jika kewenangan lokal desa tidak boleh di luar,
mengapa harus ada kewenangan desa oleh kabupaten?
Penjelasan,
UU No. 6/2014
pada dasarnya menetapkan bahwa bukan pemerintah menyerahkan kewenangan lokal
berskala desa. Karena kewenangan lokal berskala desa sangat beragam dan
tergantung pada kondisi dan kebutuhan lokal, maka UU Desa hanya menetapkan
prinsip-prinsip dasar dan beberapa contoh nyata kewenangan itu. Atas dasar UU
Desa dan PP No. 43/2014, Permendesa No. 1/2015 telah memberikan pedoman dalam
bentuk daftar kewenangan lokal berskala desa serta proses inventarisasi yang
selanjutkan dituangkan dalam Peraturan Bupati/Walikota. Tim Pengkajian dan
Inventarisasi yang dibentuk Bupati/Walikota harus melibatkan desa dalam proses
inventarisasi, sekaligus dapat mengidentifikasi program-program kegiatan SKPD
berskala lokal desa yang selama ini telah dijalankan.
Prinsip
dasar yang harus dipegang, bahwa kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan
kewenangan lokal berskala desa bukanlah milik Kabupaten/Kota, dan Peraturan
Bupati/ Walikota tersebut bukanlah pengaturan yang menyerahkan atau melimpahkan
kewenangan dari Kabupaten/Kota kepada Desa. Peraturan Bupati/Walikota itu
merupakan daftar kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal
berskala desa yang memberikan pedoman bagi desa untuk memilih dan menetapkannya
sebagai kewenangan desa dengan Peraturan Desa.
Pertanyaan
:
Dengan adanya kewenangan lokal berskala desa,
apakah berarti pemerintah melalui kementerian/ lembaga tidak boleh masuk ke desa?
Penjelasan ;
Pertanyaan
ini berkaitan dengan hubungan pemerintah dan desa maupun kewenangan sektoral
dan kewenangan lokal. Pada dasarnya sesuai dengan asas subsidiaritas, UU Desa
menegaskan bahwa kewenangan lokal diatur dan diurus sendiri oleh desa.
Pemerintah berkewajiban memfasilitasi desa dalam menjalankan kewenangan lokal
berskala desa. Norma ini ditegaskan dalam UU Desa dengan tujuan menghindari
intervensi pemerintah yang cenderung merusak desa, sekaligus untuk memperkuat
desa sebagai subyek mandiri dalam pembangunan.
Tetapi ada
dua hal penting terkait dengan kewenangan pemerintah yang bakal bersinggungan
dengan kewenangan lokal berskala desa. Pertama, PP No. 43/2014 Pasal
122 ayat (1) menegaskan: Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan program sektoral dan program
daerah yang masuk ke Desa. Program sektoral ini dimaksudkan untuk menjaga dan
mewujudkan kepentingan nasional, K/L tentu berwenang menjalankan kewenangan sektoral
yang mau tidak mau akan masuk ke ranah desa. Sebagai contoh, untuk mewujudkan
ketahanan pangan dan peningkatan produktivitas rakyat, Kementerian Pertanian
akan masuk ke ranah petani yang hidup dan berkomunitas di desa; Kementerian
Kelautan dan Perikanan akan masuk ke desa-desa pesisir untuk memberdayakan
nelayan untuk peningkatan produktivitas nelayan; demikian juga dengan
Kementerian ESDM yang berkepentingan terhadap peningkatan energi lokal yang
terbarukan.
Namun program
sektoral dan program daerah tersebut tidak boleh “terjun bebas” dilaksanakan
sendiri oleh pemerintah atau pemerintah daerah. PP 43/2014 menegaskan bahwa
program sektoral dan program diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk
diintegrasikan ke dalam pembangunan Desa. Program tersebut harus disatukan
(integrasi) dan dilembagakan ke dalam pembangunan desa, agar terjadi sinergi
antara teknis program dengan kelembagaan, sekaligus juga memperkuat
kepemilikan, otoritas, tanggung jawab dan keberlanjutan program ke dalam sistem
desa setelah program berkahir.
Kedua,
jika program pemerintah dan pemerintah daerah berskala lokal desa, maka wajib
dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa. Intervensi
pemerintah dibolehkan ketika mekanisme subsidiaritas tidak berjalan, ketika
desa tidak mempunyai kemampuan teknis maupun finansial untuk menyelenggarakan
kewenangan lokal berskala desa. Sebagai contoh adalah membangun BUMDesa, pasar
desa, kantor/ balai desa, Posyandu, Poskesdesa, dan lain-lain. Pada prinsipnya
program-program ini harus didelegasikan dan dilaksanakan oleh desa. Bahkan
untuk menghindari pelaksanaan program yang bersifat top down, dan hal
ini bisa melemahkan kemandirian desa, program-program pemerintah berskala desa
ini lebih baik mengacu pada Pasal 119 PP No. 43/2014, yakni program-program
tersebut telah direncanakan oleh desa dan diusulkan kepada pemerintah.
Pertanyaan
:
Bagaimana kedudukan tanah bengkok?
Penjelasan ;
Sebagian besar desa, atau yang disebut nama lain, di Indonesia
memiliki tanah adat atau tanah asal-usul yang sudah menjadi hak milik desa
sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir pada tahun 1945. Nagari di
Sumatera Barat maupun negeri di Maluku memiliki tanah adat/ulayat, baik ulayat
keluarga, ulayat suku maupun ulayat nagari dan ulayat negeri. Sementara
desa-desa di Jawa di masa lalu sebenarnya mempunyai berbagai jenis tanah
asal-usul: titisoro untuk orang miskin, paguron untuk gaji para
guru, pangonan untuk gembala ternak, sengkeran untuk pelestarian
tanaman langka, segahan untuk jamuan tamu dari luar yang datang ke desa,
dan palungguh atau bengkok untuk penghasilan kepala desa dan
pamong desa, tanah kuburan, maupun tanah-tanah lain untuk fasilitas umum.
Tetapi lambat laun berbagai jenis tanah itu hilang satu per satu
karena beralih fungsi baik untuk pemukiman, investasi maupun diminta oleh
pemerintah untuk membangun fasilitas publik. Dari sekian tanah desa, yang masih
tersisa dalam jumlah besar adalah tanah bengkok atau tanah palungguh.
Pengaturan tentang Tanah Bengkok tersebut dimulai dari Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1982, tentang Sumber pendapatan dan Kekayaan
Desa Pengurusan dan pengawasannya. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa yang disebut
kekayaan desa terdiri dari: Tanah kas desa, termasuk tanah bengkok, Pemandian
umum yang diurus oleh desa, Pasar desa, Obyek-obyek rekreasi yang diurus oleh
desa, Bangunan milik desa, dan Lain-lain kekayaan milik pemerintah desa.
Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1992 tentang
perubahan Status Tanah Bengkok dan yang sejenis menjadi kas Desa, membuat
pengurusan dan pengawasan tanah bengkok masuk menjadi tanah kas desa.
Dua pengaturan tersebut pada dasarnya mulai melakukan perubahan
dari tanah bengkok menjadi tanah kas desa. Hal ini merupakan campur tangan
pemerintah yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh prinsip kewenangan
asal-usul. UU No. 6/2014 menegaskan bahwa tanah kas desa tersebut menjadi
kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa, sehingga tanah bengkok (yang menjadi
bagian dari tanah kas desa) juga merupakan hak asal-usul desa, seperti halnya
tanah adat.
Namun pemerintah bisa melakukan pengaturan sepanjang bermakna
perlindungan (proteksi) terhadap tanah kas desa, termasuk tanah bengkok, untuk
menjaga kelestarian hak asal-usul. Tindakan ini perlu dilakukan karena di masa
lalu banyak tanah bengkok yang hilang dan beralih fungsi tanpa akuntabilitas
yang jelas. Pengaturan ini dilakukan dengan Permendagri No. 4/2007. Pasal 15
Permendagri itu antara lain menegaskan:
(1) Kekayaan Desa yang berupa tanah Desa tidak diperbolehkan
dilakukan pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk
kepentingan umum.
(2) Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat ganti rugi sesuai harga yang
menguntungkan desa dengan memperhatikan harga pasar dan Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP).
(3) Penggantian ganti rugi berupa uang harus digunakan untuk
membeli tanah lain yang lebih baik dan berlokasi di Desa setempat.
(4) Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
(5) Keputusan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diterbitkan setelah mendapat persetujuan BPD dan mendapat ijin tertulis dari Bupati/Walikota dan Gubernur.
Pengertian kepentingan umum pada saat ini berpedoman pada Pasal 10
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum; 4. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud
angka 3, digunakan untuk:
(a) Pertahanan dan keamanan nasional;
(b) Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun
kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api;
(c) Waduk,
bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan
sanitasi;
(d)
Bangunan
pengairan lainnya;
(e) Pelabuhan, bandar udara dan terminal;
(f) Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi;
(g) Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi
tenaga listrik;
(h) Jaringan
telekomunikasi dan informatika pemerintah;
(i) Tempat
pembuangan dan pengelolaan sampah;
(i) Rumah
sakit pemerintah/pemerintah daerah;
(j) Fasilitas
keselamatan umum; l. Tempat Pemakaman Umum (TPU);
(k)
Fasilitas
sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
(l)
Cagar
alam dan cagar budaya;
(m)
Kantor
pemerintah/pemerintah daerah/desa;
(n) Penataan
pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta
perumahan untuk
masyarakat;
(o) Berpenghasilan
rendah dengan status sewa;
(p) Prasarana
pendidikan dan sekolah pemerintah/pemerintah daerah;
(r) Prasarana
olahraga pemerintah/pemerintah daerah; dan
(s) Pasar
umum dan lapangan parkir umum.
Pertanyaan :
Tanah bengkok sudah digadaikan, apakah hal ini melanggar
UU Desa dan bagaimana
solusinya?
Penjelasan ;
Tanah bengkok dasarnya merupakan tanah jabatan yang menjadi hak
kelola bagi kepala desa dan perangkat desa selama mereka memegang jabatan itu.
Pemegang hak kelola tanah bengkok itu berhak menyewakan kepada pihak lain dalam
kurun waktu masa jabatan yang bersangkutan. Tindakan menggadaikan sebenarnya
mirip dengan menyewakan. Tetapi menggadaikan tanah mempunyai implikasi hukum
yang serius jika kepala desa dan perangkat desa yang bersangkutan tidak mampu
menebus kembali dari pegadaian. Tanah bengkok itu bisa disita, meskipun
penyitaan ini tidak mudah secara hukum. Instansi pegadaian milik negara
seharusnya mengetahui status tanah bengkok yang hanya menjadi hak kelola
sementara kepala desa dan perangkat desa selama mereka menjabat. Dengan
demikian, pegadaian tidak bisa secara gegabah dieksekusi oleh lembaga pegadaian
negara. Tetapi kalau ada kepala desa dan perangkat desa yang melakukan gadai di
“bawah tangan”, maka hal itu termasuk kategori penyimpangan.
Pertanyaan :
Bolehkah Desa menarik retribusi berdasarkan Permendesa
PDTT No. 1/2015 tentang Kewenangan Lokal itu?
Penjelasan
;
Pemendesa No. 1/2015 akan berkaitan
dengan Permendagri yang mengatur tentang keuangan desa maupun aset/kekayaan
desa. Pada dasarnya desa dilarang menarik pungutan apapun terhadap jasa layanan
administrasi yang menjadi kewenangan pemerintah dan/atau pemerintah
kabupaten/kota. Mengapa demikian? Pertama, pungutan tidak boleh dilakukan
secara ganda (dua kali atau lebih). Jika Pemerintah Kabupaten/Kota sudah
melakukan pungutan atas layanan maka desa tidak boleh melakukan pungutan.
Kedua, pungutan dilakukan oleh pihak yang berwenang mengeluarkan izin atau
akta. Sedangkan desa berkedudukan sebagai pelaksana penugasan yang mengeluarkan
surat keterangan/rekomendasi.
Tetapi desa berwenang melakukan
pungutan dalam bentuk retribusi desa terhadap jasa yang diberikan oleh desa
sepanjang terkait dengan obyek-obyek tertentu yang menjadi kewenangan dan aset
desa, misalnya retribusi tambatan perahu, retribusi pasar desa, iuran pelayanan
air bersih atau listrik yang disediakan desa, retribusi pemandian umum milik
desa, retribusi tempat pelelangan ikan milik desa, dan sebagainya. Besaran dan
mekanisme retribusi setiap jenis obyek itu harus diatur dalam Peraturan Desa.
Pertanyaan :
Apa dan sejauh mana kewenangan desa dalam
pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan?
Penjelasan ;
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan
kewenangan pemerintah daerah. Desa menjalankan penugasan atau membantu menarik PBB kepada obyek pajak di wilayahnya. Atas penugasan itu, desa
memperoleh upah pungut, dan juga memperoleh bagi hasil yang besarannya
berbeda-beda.
Pada dasarnya wajib pajak baik perorangan, yayasan, maupun
perusahaan dapat membayar PBB langsung kepada pemerintah daerah, tanpa melalui
desa. Desa tidak berwenang dan tidak boleh memaksa mereka membayar PBB melalui
Desa. Di luar pajak, desa dapat mengambil iuran dan pungutan pada objek yang
menjadi kewenangan desa sebagai pendapatan asli desa.
Pertanyaan :
Kapan Peraturan Bupati/Walikota tentang Kewenangan
Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala
Desa ditetapkan?
Penjelasan ;
Penerbitan Peraturan Bupati/Walikota tentang Kewenangan
Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa tentu sangat
bergantung pada Bupati/Walikota. Peraturan ini tentu harus segera diterbitkan
karena akan menjadi landasan bagi penyusunan perencanaan pembangunan desa.
Kalau Bupati/ Walikota tidak segera menyusun Peraturan Bupati/Walikota, maka
desa bisa menyampaikan aspirasi atau mengusulkan kepada Bupati/Walikota. Tetapi
jika Peraturan/Walikota tidak terbit bukan berarti proses di desa harus
berhenti. Desa dapat menggunakan pedoman Permendesa No. 1/2015 untuk memilih
dan menetapkan kewenangan desa sesuai dengan kondisi dan kebutuhan desa. Sesuai
dengan prinsip keberagaman dan prakarsa desa setempat, maka desa berhak
menambah daftar kewenangan lokal dan kewenangan hak asal usul.
Pertanyaan :
Bagaimana bila Dana Desa
dicairkan tetapi Peraturan
Bupati/Walikota tentang Kewenangan
Berdasarkan Hak Asal
Usul dan Kewenangan Lokal
Berskala Desa belum
ditetapkan?
Penjelasan ;
Berdasarkan teori dan sistematika UU Desa, kewenangan desa
mendahului dan menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan desa, keuangan desa,
perencanaan dan penganggaran desa, hingga peraturan desa. Sebaiknya Peraturan
Bupati/Walikota tentang Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan
Lokal Berskala Desa terbit lebih dulu sebelum Peraturan Bupati/Walikota tentang
pencairan dana desa yang bersumber dari APBN. Tetapi UU Desa beserta peraturan
pelaksanannya tidak secara tersurat mengharuskan Peraturan Bupati/Walikota
tentang Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa
terbit lebih dulu sebelum Peraturan Bupati/Walikota tentang pencairan dana
desa. Oleh karena itu dana desa bisa dicairkan lebih dulu dengan dasar
Peraturan Bupati/Walikota tentang pencairan dana desa, meskipun belum terbit
Peraturan Bupati/Walikota tentang Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan
Kewenangan Lokal Berskala Desa.
Pertanyaan :
Sejauh mana kewenangan desa dalam UU Desa dapat
mengikat proses perencanaan dan penganggaran desa?
Penjelasan
;
Pasal 79 UU No. 6/2014 menegaskan: “Pemerintah Desa
menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan
mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota”. Artinya kewenangan desa,
baik kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa,
menjadi dasar yang mengikat perencanaan Pembangunan Desa.
COMMENTS