Pada 2013, pertanyaan ini diajukan Onno W Purno, ahli Telematika Indonesia, pada sebuah diskusi yang membahas RUU Desa di bilangan Wah...
Pada 2013, pertanyaan ini diajukan Onno W Purno, ahli Telematika Indonesia, pada sebuah diskusi yang membahas RUU Desa di bilangan Wahid Hasyim, Jakarta. Kebetulan penulis duduk tepat di sebelah Kang Onno sehingga dampak dari pertanyaan terasa dalem banget.
Mendengar pertanyaan di atas, forum menjawabnya secara spontan dengan derai tawa. Tak terlintas sedikitpun di benak para penggagas UU Desa bagian yang mengatur kedaulatan desa dalam urusan akses telekomunikasi. Urusan telekomunikasi sepertinya ditakdirkan untuk perusahaan (corporate), desa jelas tak mampu menerima urusan ini.
Benarkah demikian? Jawabnya, bisa iya, bisa tidak. Kesalahan terbesar republik ini adalah menyerahkan semua urusan telekomunikasi pada sektor privat melalui Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi. Akibatnya, penyelenggaraan layanan telekomunikasi didasarkan pada relasi produsen-konsumen dibanding negara-warganegara.
Dampak dari kebijakan di atas, kesenjangan akses infrastruktur telekomunikasi di dunia perdesaan terjadi. Pada 2012, pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 63 juta atau penetrasinya 24,23 prosen (APJII: 2012). Namun, pengguna internet terkonsentrasi di kota-kota besar dengan penetrasi mencapai 57 prosen.
Kebijakan telekomunikasi akan terus menganaktirikan wilayah perdesaan. Penyelenggaraan pelayanan oleh sektor privat jelas berorientasi untuk mengejar margin keuntungan. Tak heran, Data eMarketer (2013), pada 2010 menunjukkan ada 65 prosen dari 66.778 desa di Indonesia belum bisa mengakses fasilitas telekomunikasi.
Fakta yang sangat miris karena di waktu yang sama, warga yang tinggal di kota-kota besar berpesta bandwith untuk berselancar di internet. Hal itulah yang melahirkan kesenjangan informasi di mana desa menempati posisi yang terpinggirkan.
Kesejangan informasi menyebabkan isu-isu perdesaan selalu tenggelam di ranah publik. Lebih dari itu, tak sedikit pegiat online justru menyudutkan suara-suara dari dunia perdesaan. Di sisi lain, pegiat online dari perdesaan justru ikut larut dalam perilaku pengguna internet arus utama karena kurangnya literasi informasi.
COMMENTS