Hari-hari ini kita semua menyaksikan serbuan drama politik dalam banyak ruang publik. Seorang teman mengatakan: “ Jika ingin mengerti po...
Hari-hari ini kita semua menyaksikan serbuan drama politik dalam banyak ruang publik. Seorang teman mengatakan: “Jika ingin mengerti politik Indonesia, Anda perlu memahami sinetron terlebih dahulu”. Saya cenderung setuju, karena semua kegiatan para politisi akhir-akhir ini hanya mengenai segala yang serba kemilau. Pencitraan yang mengeksploitasi segala apa yang bisa berujung pada kemenangan dalam pileg dan pilpres. Dan kemenangan hanya berarti memegang kekuasaan, bukan pada proses politiknya, bukan pada bagaimana mengajak para pemilih untuk mendukung program dan langkah aksi untuk perbaikan bangsa ke depan.
Pencitraan begitu hebatnya memasuki ruang-ruang publik, termasuk rakyat kecil yang serba minim pendidikan, pengetahuan dan eksposur tentang rekam jejak dan latar belakang para pemberi citra. Segala apa dijual sebagai kekuatan. Ketegasan sebagai eks militer, kereligiusan, bahkan kebersahajaan yang semua tidak ada hubungannya dengan efektivitas pemerintahan, kemampuan menyetir kepentingan negara dalam persaingan global, dan pemerintahan yang menjamin governance yang tinggi, dijual sebagai cara menyihir pemilih, terutama pemilih baru atau “non-well-informed voters artinya Pemilih yang tidak mengetahui dengan baik”.
Ketika parpol berada dalam genggaman kekuasaan, memang ideologi politik menjadi semakin kabur. Mungkin kita bisa memberi suatu batas toleransi, karena memang itu dibutuhkan untuk “survival”. Tetapi ketika kebebasan berpolitik telah muncul kembali, ideologi politik parpol juga tetap kabur. Istilah ideologi mungkin sudah ditinggalkan, karena dianggap sangat kiri, dan sebagai gantinya dimunculkan istilah-istilah baru, yaitu “platform” dan “program”, untuk menunjukkan bahwa parpol bisa melakukan maneuver bebas dengan platform dan program.
Dengan kacamata yang lebih jernih orang-orang yang tahu rekam jejak para politisi dan gerakan-gerakannya kini, bisa melihat bahwa tidak terlihat ada perbedaan nyata . Demikian juga dengan parpol berbasis Islam, dan parpol yang mendukung nasionalisme yang mau didengar sebagai patriotik. Nasionalisme aneh, dengan janji yang digembar-gemborkan oleh sejumlah parpol yang ingin dianggap heroik tetapi sesungguhnya malah terjebak ke dalam alam pikir supra nasionalis.
Begitulah, kita menyaksikan begitu banyak kemunafikan dalam proses politik yang terjadi saat ini. Ideologi politik tidak menjadi penting lagi karena mereka bisa berkoalisi dengan parpol dengan platform dan program apa saja. Program mereka berupa garis besar kebijakan ekonomi juga mereka sadari sendiri tidak akan bisa dicapai hanya dengan slogan dan kampanye, karena sistem ekonomi kita yang sudah terlanjur sangat tergantung pada impor barang dari Daerah lain.
Kepentingan rakyat yang mereka sebutkan dalam kampanye sebagai tujuan mereka mendapatkan kekuasaan, merupakan janji-janji kosong yang mereka sendiri sadar betul tidak akan mampu memenuhinya.
Jangan-jangan pemilihan mendatang kita sekali lagi akan diberi janji-janji yang menyesakkan dada lagi. Bukan memilih pemimpin terbaik yang mampu membawa ke arah yang lebih baik, tetapi memilih pemimpin yang dianggap paling tidak berbahaya atau tidak merugikan untuk perbaikan di masa mendatang. Kita tidak tahu apa yang akan muncul dari dalam situ. Politik sekarang sudah masuk karung, demikian juga pemimpinnya, kita tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Mudah-mudahan ini tidak terjadi, walaupun sekarang ini dengan perkiraan-perkiraan yang semakin bisa diprediksi, seringkali mimpi buruk kita menjadi kenyataan.
COMMENTS